5. DISIPLIN DAN SUNGGUH-SUNGGUH
Menghargai waktu dan bersikap sungguh-sungguh dalam mengerjakan kebaikan merupakan ciri-ciri umat Muslim yang bertakwa atau memiliki kecerdasan transendental yang tinggi. Banyak sekali kewajiban agama yang harus dijalankan dengan ketentuan waktu yang ketat dan sangat jelas. Shalat, misalnya, harus dilakukan tepat waktu. Waktu untuk mengerjakan shalat Subuh, Zuhur, Ashar, Magrib, dan Isya dan shalat-shalat sunat sudah ditetapkan secara jelas. Tidak boleh mengerjakan shalat Subuh setelah terbit fajar atau saat shalat Zuhur, Ashar dan seterusnya. Saat waktu shalat masuk, Allah mewajibkan umatNya untuk menghentikan pekerjaannya sejenak untuk menunaikan panggilan-Nya.
Bagi yang ingin mengerjakan shalat berjamaah di Mesjid atau Mushalla, kedisiplinan terhadap waktu shalat ini lebih terasa lagi karena, kalau tidak, mereka bisa ketinggalan shalat berjamaah yang biasanya diselenggarakan segera setelah waktu shalat masuk. Kedisiplinan tampak pula pada barisan jamaah yang harus lurus dan kepatuhan mengikuti perintah Imam.
Begitu pula bagi umat yang ingin mengerjakan shalat sunat tahajud, seseorang harus tidur terlebih dahulu dan bangun di malam hari untuk menunaikan shalat sunat tahajud. Tanpa kedisplinan terhadap waktu dan sikap bersungguh-sungguh (termasuk dalam hal niat), sulit bagi seorang umat Muslim untuk bisa menunaikan shalat sunat ini pada waktu yang telah ditentukan. Begitulah, shalat mengajarkan umat Muslim untuk selalu disiplin dan bersungguh-sungguh.
Amal ibadah lain juga mengajarkan hal yang sama. Puasa, zakat fitrah, berkurban dan menunaikan ibadah haji telah ditentukan waktu dan ketentuannya. Oleh karenanya, umat Muslim harus terbiasa menyusun rencana kegiatan secara komprehensif, karena persiapan menunaikan amal ibadah itu menimbulkan konsekuensi terhadap individu, keluarga, dan juga masyarakat.
Makna dari sikap disiplin dan sungguh-sungguh dalam beribadah itu seyogyanya juga tercermin di dalam perilaku umat Muslim sehari-hari. Bekerjalah dengan keras, rajin, tekun, dan cerdas. Kita harus selalu berdisplin dan sungguh-sungguh menjalankan tugas dan tanggung jawab kita sehari-hari. Hargailah waktu dengan memanfaatkan waktu yang ada sebaik-baiknya dan tidak menunda-nunda pekerjaan. Tepatilah jam kerja atau janji bertemu dengan orang lain, karena waktu begitu berharga. Kecuali itu, lakukan segala sesuatu yang baik dengan sungguh-sungguh, jangan setengah hati.
6. MENJAGA KEBERSIHAN DIRI
Umat Muslim diwajibkan oleh Allah untuk selalu menjaga kebersihan, baik diri maupun lingkungannya. Sebelum melakukan shalat, umat Muslim harus mensucikan diri terlebih dahulu dari segala kotoran dengan berwudhu. Allah pun meminta umat-Nya untuk berpakaian yang bersih dan memakai harum-haruman bila melaksanakan shalat. Pakaian yang bersih berbeda dengan pakaian mewah. Kendatipun hanya punya baju usang, tidak masalah selama ia tetap bersih. Sedikitnya 5 kali sehari-semalam umat Muslim harus melaksanakan shalat, maka hal itu akan mewujud kepada penampilan diri yang bersih dari orang yang melaksanakannya.
Kebersihan lingkungan harus pula dijaga. Din saja yang bersih tanpa lingkungan yang bersih dan rapih (penuh sampah, bau, berantakan, air tergenang, ruang/ meja kerja berantakan) akan mengganggu kekhusyukan dalam beribadah di samping tidak sehat. Bahkan, tindakan untuk membersihkan jalanan dari duri, paku atau apa saja yang membahayakan manusia merupakan perbuatan yang berpahala.
Hal lain adalah kebersihan diri terkait dengan harta yang dimiliki, rejeki yang didapat, makanan yang dimakan, dan tindakan-tindakan yang melanggar aturan. Penyucian harta yang dimiliki dan rejeki yang didapat dilakukan dengan menunaikan zakat, infak, dan sedekah (ZIS) sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Di samping itu, Allah hanya mengijinkan manusia untuk memakan makanan yang halal, seperti ditegaskan dalam Surat (2) Al Baqarah ayat 168: Hai sekalian manusia, makahlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu.
7. PERCAYA DIRI DAN KONSISTEN
Untuk meraih sukses diperlukan kepercayaan diri. Kepercayaan diri akan memperkuat kemampuan akal-budi di dalam mewujudkan keinginan atau sasaran yang hendak dicapai. Allah tidak menyukai manusia yang lemah dalam mewujudkan keinginan. Surat (3) Ali Imran 139: Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu adalah orang-orang yang beriman.
Percaya diri tidak boleh berlebihan. Perhatikan saat tentara kaum Muslimin yang merasa terlalu percaya diri karena jumlahnya mencapai 12.000 orang kocar-kacir pada perang Hunain melawan orang Hawazin dan Tsaqib. Hal ini disampaikan Allah dalam Surat (9) At Taubah ayat 25:
Sesungguhnya Allah telah menolong kamu (hai para mu'min) di medan peperangan yang banyak. Tetapi di peperangan Humain di waktu kamu menjadi congkak karena banyakbya jumlahmu, maka jumlah yang banyak itu tidak memberi manfaat kepadamu sedikitpun. Dan bumi yang luas itu telah terasa sempit olehmu, kemudian kamu lari ke belakang dengan bercerai-cerai.
Sikap percaya diri harus dibarengi pula dengan konsisten atau teguh di dalam pendirian terhadap kebenaran. Kisah perjuangan Nabi Muhammad SAW yang penuh ujian berat dalam menegakkan kebenaran menjadi pelajaran yang amat berharga betapa konsistensi dalam bekerja dan berjuang sangat penting dalam hidup ini. Sekali Anda menetapkan sikap yang harus dijalankan (setelah memanfaatkan potensi akal-budi) dan meyakini kebenarannya, maka Anda harus konsisten dengan sikap tersebut. Janganlah Anda menjadi orang yang plin-plan dan tidak teguh memegang prinsip.