8. BERLAKU ADIL
Bersikap adil terhadap siapa saja, diri sendiri, keluarga, bawahan, atasan, masyarakat, teman atau musuh sekalipun adalah salah satu nilai utama yang diajarkan Islam. Bersikap adil ini sungguh berat, tetapi manusia yang memiliki kecerdasan transendental tinggi berusaha untuk benar-benar bersikap adil. Banyak sekali ayat Allah yang memerintahkan untuk bersikap adil seperti Surat (16) An Nahl ayat 90.
Baca pula Surat (5) Al Maaidah ayat 8, yang mengharuskan manusia untuk berlaku adil, termasuk terhadap kaum yang dibenci: Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu menjadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Termasuk jika Anda menjadi saksi atau hakim dalam sebuah perkara, maka Anda harus bersikap adil, yang dijelaskan Al Quran Surat (4) An Nisaa' ayat 135: Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang-orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu.
Ayat di atas memiliki makna filosofis yang dalam. Seringkali manusia tidak bisa menegakkan keadilan karena menyangkut dirinya, ibu bapa, sahabat, dan keluarga. Karena ibu bapanya, saudaranya, dan kerabatnya, manusia cenderung mengalahkan kebenaran dalam setiap permasalahan yang melibatkan mereka dengan pihak lain. Sebagai akibatnya, mereka tidak bisa bersaksi secara adil.
Bahkan terhadap para musuh sekalipun, Allah tetap memerintahkan umat Muslim untuk bertindak secara adil, Surat (60) Al Mumtahanah ayat 8: Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir karena dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.
9. TERPERCAYA (AMANAH)
Manusia yang memiliki kecerdasan transendental tinggi adalah manusia yang terpercaya (amanah), karena mereka selalu memegang janji-janjinya. Ia <http://janji-janjinya.la/> memiliki kredibilitas yang tinggi. Sebagai pimpinan, ia akan menjadi pemimpin yang terpercaya di dalam menjalankan segala tugas dan kewajibannya, termasuk terhadap anak buahnya. Menjadi Presiden, menteri, pejabat tinggi, anggota DPR, DPD atau Kepala Daerah, ia harus terpercaya menjalankan amanah yang diberikan rakyat kepadanya. Seluruh keputusan dan langkah yang ia lakukan adalah demi kemaslahatan pemberi amanah, yakni rakyat; bukan mengutamakan kepentingan pribadi dan kelompoknya. Bukan pula menyesatkan dan menyengsarakan umat.
Sebagai bawahan atau karyawan, umat Muslimpun harus terpercaya, figur yang handal dalam menjalankan kepercayaan perusahaan/pimpinan yang diembannya. Amanah untuk sama-sama memajukan dan meningkatkan kinerja perusahaan harus benar-benar dijalankan secara sungguh-sungguh. Toh hasilnya juga akan bisa dirasakan oleh mereka secara langsung maupun tak langsung.
Perilaku amanah adalah salah satu hal yang kini nyaris sirna di republik ini. Selain pejabat, pimpinan, dan pegawai, sikap amanah kini juga sulit ditemukan di berbagai profesi/pekerjaan lainnya: pendidik, ulama, penegak hukum, dan sebagainya. Belum lagi kewajiban menjalankan amanah Allah kepada kita sebagai pribadi, ayah/ibu, anak, anggota keluarga, masyarakat, warga negara, dan warga dunia. Akibatnya, seperti yang kini terlihat, kemunduran bangsa terjadi di berbagai bidang. Kita harus menjadi pribadi-pribadi yang terpercaya, seperti Surat (23) Al Mu'minuun ayat 8: Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya.
10. TIDAK PEMARAH DAN SUKA MEMBERI MAAF
Allah sangat tidak menyukai orang-orang yang pemarah. Kenapa? Pemarah adalah cermin dari manusia yang tidak bisa mengendalikan emosinya. Setan menyukai sekali orang-orang yang memiliki sifat pemarah karena orang seperti ini mudah kehilangan kesadaran diri (self awareness) sehingga mudah ditumpangi oleh setan. Ini sangat berbahaya. Orang yang pemarah mengambil keputusan dan bertindak cenderung emosional sehingga kehilangan akal sehat dan hati nurani. Bukan berarti manusia tidak boleh marah, namun harus pada tempatnya.
Banyak sekali ayat Allah yang tidak menyukai orang-orang pemarah tetapi, sebaliknya, menyukai orang-orang yang pemaaf, antara lain: Surat (3) Ali Imran ayat 134:
(orang-orang yang bertakwa yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.
Surat (4) An Nisaa' ayat 149: Jika kamu menyatakan sesuatu kebaikan atau menyembunyikan atau memaafkan sesuatu kesalahan (orang lain), maka sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Kuasa.
Tentunya menjadi pemaaf di sini tanpa melupakan kewaspadaan dan kesiapan menghadapi kemungkinan orang tersebut mengulangi lagi perbuatannya. Sifat pemaaf hendaknya diterapkan pada waktu-waktu yang tepat. Al Quran menghendaki sifat pemaaf, tetapi sebaliknya menghendaki pula kejahatan dengan hukuman yang setimpal. Sifat pemaaf jangan menggampangkan terjadinya kejahatan. Bila harapan perbaikan di sisi orang itu tidak juga terjadi, maka jalan ke luarnya adalah menyerahkannya kepada sistem hukum.
Allah juga meminta umat-Nya untuk berjiwa besar, mau memaafkan orang-orang yang telah menzalimi mereka, Surat (42) Asy Syuura ayat 43: Tetapi orang yang bersabar dan memaafkan (setelah dizalimi) sesungguhnya (perbuatan) yang demikian itu termasuk hal-hal yang diutamakan.